TIMBUKTU
Timbuktu adalah sebuah daerah yang
terdapat di Mali, Afrika Barat. Kota ini dihuni oleh suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Kota ini sering kali dibilang
terletak di Sungai Niger, namun sebenarnya terletak 15 km utara sungai itu. Kota
ini juga berada di daerah persimpangan dari Perdagangan Trans-Sahara baik dari barat ke timur, sampai utara ke selatan. Kota ini dulu dan
sekarang, merupakan tempat penyaluran garam dari Taoudenni.
Letak geografisnya membuatnya sebuah
tempat pertemuan alami bagi populasi Afrika di sekitarnya dan suku Berber yang nomaden dan
orang Arab dari utara. Sejarahnya yang panjang sebagai pos perdagangan yang
menghubungkan Afrika Barat dengan Berber, Arab dan Yahudi melalui Afrika Utara,
dan juga secara tidak langsung dengan pedagang dari Eropa, telah memberikannya status fabel,
dan di barat, dia merupakan sebuah metafora untuk tanah jauh yang eksotik.
Kontribusi Timbuktu yang panjang kepada kebudayaan Islam dan dunia adalah
pelajar. Kontribusi Timbukti terhadap dunia Islam adalah ilmu pengetahuan Pada
abad ke-14 banyak buku penting ditulis dan dikopi di Timbuktu, membuat kota ini
sebagai pusat tradisi tertulis penting di Afrika.
Timbuktu didirikan oleh suku Tuareg pada awal abad ke-10. Menurut
etimologi populer, namanya dibuat dari tin
dimana berarti tempat dan buktu, nama dari wanita tua Mali yang
diketahui karena kelurusan hatinya dan yang suatu hari tinggal di daerah itu. Tuareg dan pengelana lainnya mempercayakan
wanita ini barang yang mereka tidak digunakan saat kembali dari kunjungannya ke
utara. Hingga, saat Tuareg kembali ke rumahnya, ia ditanya dimana ia
meninggalkan barangnya, lalu ia menjawab: Saya meninggalkannya di Tin Buktu, Tin Buktu berarti tempat
dimana seorang wanita yang bernama Buktu tinggal. 2 hubungan ini akhirnya
bergabung menjadi 1 kata, dan memberikan kota ini nama Tinbuktu yang nantinya menjadi Timbuktu. Namun, orang Perancis yang bernama René Basset
memberikan teori yang lebih masuk akal: pada bahasa Berber, "buqt" berarti ""sangat
jauh", karena itu, "Tin-Buqt(u)" berarti tempat yang merupakan
ujung dunia, karena itu orang menggambarkan dirinya pergi ke ujung dunia dengan
pergi ke Timbuktu.
Seperti pendahulunya, Tiraqqa, kota perdagangan yang bertetangga
dengan Wangara,
Timbuktu berkembang menjadi sangat kaya karena peran kuncinya dalam Perdagangan Trans-Sahara dengan komoditi emas, gading, budak, garam, dan komoditi lain dari pedagang
Tuareg, Moor dan Fulani. Jika Sahara berfungsi sebagai laut,
Timbuktu adalah pelabuhan utamanya. Kota ini juga merupakan kota utama dalam
beberapa kekaisaran: Kerajaan Ghana, Kerajaan Mali dari tahun 1324, dan Kerajaan Songhai dari tahun 1468, pendudukan kedua dimulai saat
kekaisaran menyingkirkan kepemimpinan Tuareg yang telah mendapatkan kekuasaan.
Kota ini mencapai kejayaannya pada abad ke-16. Pemimpin Kerajaan Songhai mulai
mengekspansi kekuasaannya di sungai Niger. Seperti kerajaan Ghana dan Mali yang
telah hilang di daerah itu pada abad sebelumnya, Songhai berkembang lebih kuat
karena kekuasaannya terhadap rute perdagangan lokal. Timbukti segera menjadi
jantung kekaisaran Songhai. Kota ini menjadi kaya karena banyak pedagang yang
berkelana di rute perdagangan berhenti disitu. pada masa itu ilmu
pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyatnya begitu
gemar membaca buku. Permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang
berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu
menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Sejak abad
ke-11, Timbuktu sudah menjadi pelabuhan penting dan menjadi tempat beragam
barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Ketika itu garam
merupakan produk yang sangat bernilai. Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar
dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam,
pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.Garam, buku, dan emas
merupakan tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada
era itu. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang
emas di Boure dan Banbuk. Sedangkan buku dicetak dan diproduksi para sarjana
atau berkulit hitam dan ilmuwan dari Sanhaja.
Proses
pembangunan pertama kali berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12. Para
arsitek Afrika dari Djenne dan arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun
kota itu. Pembangunan di Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya
perdagangan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, Raja Soso diserbu kerajaan Ghana.
Sehingga, para ilmuwan dari Walata eksodus ke Timbuktu.
Timbuktu pun
menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Di abad ke-12
M, Timbuktu telah memiliki tiga universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga
universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain Sankore
University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Inilah masa
keemasan peradaban Islam di Afrika. Buku-buku yang dijual di kota itu banyak
yang didatangkan dari negeri Islam lainnya. Selain itu, tak sedikit pula
buku-buku yang diperjualbelikan adalah hasil karya para ilmuwan dan sarjana di
Tumbuktu. Di kota itu juga sudah ada industri percetakan buku. Perpustakaan
universitas dan milik pribadi pun bermunculan dengan beragam koleksi buku yang
ditulis para ilmuwan.
Setelah Pertempuran Tondibi , terjadi expansi tentara bayaran dan budak, dijuluki Arma . Mereka dikirim oleh Saadi penguasa Maroko , Ahmad I al-Mansur , dan dipimpin oleh Judar Pasha untuk mencari tambang emas. Anne membawa akhir dari
sebuah era relatif otonomi . Periode berikutnya membawa penurunan ekonomi dan
intelektual. Tahun 1593, Ahmad al-Mansur saya mengutip ‘ketidaksetiaan’ sebagai
alasan untuk menangkap, dan kemudian membunuh atau mengasingkan, banyak sarjana
Timbuktu, sehingga perlahan terjadi kemunduran dikota Timbuktu. Sekarang Kota
Timbuktu menjadi kota yang sangat memprihatinkan, di Benua Afrika kota ini
termasuk kota yang miskin dan sangat rendah potensi kehidupannya, hal ini
dikarenakan ekploitasi yang besar dari para penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar