Pancasila Sebagai
Jalan Keluar Tantangan Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia adalah negara
multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras.
Keberagaman tersebut merupakan keunikan atau kekayaan kita sebagai bangsa,
namun sekaligus dapat menjadi ancaman bagi kesatuan negara dan bangsa
Indonesia. Perbedaan suku, budaya, ras, agama, dan adat istiadat sangat
berpotensi memunculkan pertentangan antarkomponen. Konflik dan kekerasan yang
bernuansa agama, ras, dan etnis terjadi di berbagai wilayah tertentu di
Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua. Krisis sosial budaya yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini juga dipicu oleh krisis ekonomi,
moneter, dan euforia kebebasan paskaambruk-nya Rezim Soeharto –yang dinamai
reformasi. Di era orde baru, Soeharto memaksakan ideologi monokulturalisme
dengan dalih demi stabilitas negara dan bangsa. Hal ini menekan ekspresi
kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejatinya majemuk. Tekanan itu akhirnya
meledak pada saat reformasi didengungkan. Ini semacam momen atau kesempatan
untuk mengekspresikan segala macam bentuk kebebasan. Eforia kebebasan paska
Orde Baru menjadi tak terkendali.
Masalah yang
dihadapi berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang multikultural sangat rumit.
Dalam bentuk multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia harus memiliki
kebudayaan yang berlaku umum yang coraknya seperti sebuah mosaik (Anwar Efendi,
2008). Sedangkan, Azyumardi Azra (2007) memakai istilah “peradaban Indonesia”
atau “kebudayaan Indonesia”. Selanjutnya ia mengatakan, bagaimana bentuk dan
wujud dari “kebudayaan Indonesia” itu? Konsep multikulturalisme tidak dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan
sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan (Parsudi Suparlan,
2002). Konsep tentang multikulturalisme sendiri sebetulnya juga bukan hal baru
di Indonesia. Kesadaran multikultur sudah muncul sejak benih Indonesia mulai
tumbuh pada masa Kebangkitan Nasional. Perkembangan-perkembangan pokok pada
masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi serta dikenalnya
definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas
Bagaimana merawat
kemajemukan untuk terciptanya iklim yang aman, tanpa konflik? Sebagai bangsa
yang majemuk, meminjam istilah Azyumardi Azra (2007), Indonesia
memerlukan common platform yang dapat menyatukan segala macam
perbedaan yang ada. Selama ini unsur pemersatu Bangsa Indonesia adalah negara
dan Pancasila yang sekaligus merupakan titik puncak kebudayan dan peradaban
Indonesia. Realitas sosial, budaya, dan politik Bangsa Indonesia sekarang
mendorong untuk bertanya, Apakah Pancasila masih relevan untuk berperan
sebagai common platform bagi Negara dan Bangsa Indonesia.
Sekarang atau uatu saat nanti, apakah ada jawaban dari pertanyaan siapakah
orang Indonesia? Pertanyaan itu secara implisit hendak meminta Berbagai
bentuk disorientasi sedang terjadi di berbagai kalangan masyarakat, misalnya,
menurunnya penghargaan terhadap suku dan kebudayaan orang lain, memojokkan kaum
minoritas, kekerasan terhadap kelompok suku tertentu dan berbagai bentuk
disorientasi lainnya.
Pemahaman tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Menurut Taylor,
perkembangan multikulturalisme tidak hanya di bidang ilmu politik tetapi juga
dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Habermas kemudian menanggapi Taylor
demikian, perlindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam suatu
demokrasi konstitusional. Persamaan hak di bidang hukum harus disertai pula
kemampuan untuk mengerti bahwa kita sendiri adalah penulis dari hukum-hukum
tersebut yang mengikat kita. Ini hendak mengatakan bahwa sistem yang mengikat
kita tidak menghapus kondisi sosial kita yang berbeda-beda, termasuk terhadap
perbedaan budaya. Kemungkinan, akan terjadi konflik dari diskursus mengenai
perbedaan-perbedaan tersebut dan juga pemecahan demokratisnya. Habermas
menganjurkan, negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak-hak
orang lain.
Dalam kehidupan politik saat ini,
ada keinginan untuk diakui (recognized) terhadap hak hidup kelompok
dalam masyarakat dengan kebudayaannya yang khas. Kebutuhan ini merupakan
pendorong yang sangat kuat di belakang gerakan nasionalisme dalam politik.
Gerakan ini muncul dalam kehidupan politik dalam bentuk tuntutan
kelompok-kelompok minoritas, kelompok-kelompok subaltern, kelompok
feminis, dan politik multikulturalisme. Perkembangan kebutuhan untuk
diakui berasal dari filsuf Rousseau. Dia mengritik tajam sistem kehormarmatan
hirarkis yang disebutnyapreferences. Bagi Rousseau preferences tersebut
merupakan akar dari korupsi dan ketidakadilan, karena orang memberikan
penghargaan kepada sesuatu yang preferensial. Sedangkan, dalam masyarakat
Republik setiap orang mempunyai hak yang sama sehingga pandangan preferensial
tersebut tidak akan muncul. Setiap orang perlu diakui akan keunikan dan
identitasnya. Setiap manusia memiliki martabat yang sama. Maka dari itu,
saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus ada dalam kemerdekaan
manusia.
Multikulturalisme berasal dari dua
kata, yaitu “Multi” dan “kulturalisme”. “Multi” berarti beraneka-ragam,
sedangkan “kulturalisme” mengandung unsur kultur atau budaya Sebagai sebuah
ideologi multikulturalisme merasuk ke dalam berbagai struktur kegiatan
kehidupan manusia, yakni sosial, ekonomi dan bisnis, politik, dan lain
sebagainya. Maka, pluralisme berkaitan pula dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pluralisme berkaitan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada
dalam suatu komunitas yang memiliki budaya khas. Menurut Montesquieu, perbedaan
budaya adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh kenyataan kehidupan manusia.
Tidak ada dua masyarakat yang sama persis. Setiap kelompok masyarakat memiliki
perbedaan adat, cara hidup, tata krama, sistem hukum, struktur keluarga, bentuk
pemerintahan, dan masing-masing mengusung semangat yang berbeda, nilai-nilai
moral, dan bentuk kesempurnaan serta konsep hidup yang baik.
Pengertian multikulturalisme dapat
dibedakan ke dalam dua periode. Pengertian tradisional multikulturalisme
merupakan babak pertama aliran multikulturalisme dan memiliki dua ciri:
kebutuhan terhadap pengakuan dan 2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme
budaya. Sedangkan, tahap perkembangan selanjutnya paham multikulturalisme
menampung berbagai macam pemikiran baru:
Pertama, pengaruh studi
kultural. Studi kultural melihat secara kritis masalah-masalah esensial di
dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan
di dalam masyakarat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat
yang termarjinalisasi, feminisme, dan masalah-masalah toleransi antrakelompok
dan agama.
Kedua, poskolonialisme.
Pemikiran poskolonialisme melihat kembali hubungan antara eks penjajah dan
daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma. Stigma yang muncul
biasanya mengenai perendahan terhadap masyarakat terjajah. Pandangan
poskolonialisme mengungkit kembali nilai-nilai indigenous dalam
budaya sendiri dan membangkitkan kebanggaan terhadap budaya asing. Pemikiran
poskolinialisme kadangkala melihat berbagai kekurangan bangsanya sendiri
sebagai akibat penjajahan.
Ketiga, globalisasi.
Globalisasi melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya
asli. Ada upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan
budaya-budaya yang beraneka-ragam di masyarakat. Revitalisasi budaya lokal
merupakan upaya untuk menentang globalisasi yang mengarah ke monokulutural
budaya dunia.
Keempat, teori ekonomi
politik neo-Marxisme. Teori ini memfokuskan kepada struktur kekuasaan di dalam
suatu masyarakat yang didominasi oleh kelompok yang kuat. Teori neo-Marxis dari
Antonio Gramcsi mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa
revolusi dalam memperhatikan kelompok-kelompok yang termarjinali-sasi.
Multikulturalisme di Indonesia dan Permasalahannya Dewasa Ini
Bangsa Indonesia
secara keseluruhan terdiri atas berbagai pemeluk agama (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), etnis (suku), jenis kelamin (gender), dan status
sosial. Perumusan konsep nasionalisme harus secara demokratis mengakomodir
sekaligus menghargai semua kelompok dengan prinsip keadilan. Prinsip
nasionalisme yang relevan dalam konteks keindonesiaan ialah nasionalisme-multikultural,
yaitu konsep nasionalisme yang meliputi perbedaan latarbelakang, baik perbedaan
agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.
Indonesia memiliki sejarah panjang
mengenai konsep multikulturalisme. Konsep ini sebenarnya sudah ada benihnya
sejak sebelum Indonesia merdeka. Konsep multikuluralisme benihnya sudah ditanam
dalam gerakan kebangkitan nasional pada awal abad ke-20. Memang semangat
multikulturalisme di sini sama sekali tidak terlihat. Gerakan awal kebangkitan
nasional itu mula-mula masih didasarkan atas rasa solidaritas atau hubungan
setia kawan yang terbatas pada ruang lingkup tertentu. Seperti Budi Utomo, pada
dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara
resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura.
Kemudian, muncul organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Sarekat
Dagang Islamiyah. Ini adalah organisasi para pedagang Indonesia yang didirikan
di Batavia pada 1909. Istilah islam pada namanya sekarang banyak mencerminkan
adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia
adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim.
SI berkembang ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusatnya
Pada masa sesudah 1909, di Indonesia banyak bermunculan
organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar
didasarkan atas identitas-identitas kesukuan (Tri Koro Dharmo, Jong Sumatranen
Bond, Jong Ambon, dll). Memang, era pertama kebangkitan nasional tersebut tidak
mencerminkan sama sekali ideologi multikulturalisme secara gamblang. Pola yang
sudah nampak menunjukkan pola penting bahwa sebagai suatu pergerakan dapat
dilihat adanya semangat untuk membentuk organisasi. Namun, semangat
berorganisasi tersebut masih didasari atas indentitas kesukuan yang sangat kuat
sehingga meningkatkan rasa perpecahan di kalangan rakyat Indonesia.
Soekarno bersama Tjipto
Mangungkusumo dan Douwes Dekker mempimpin Indische Partij (IP) yang radikal dan
merupakan satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka
nasionalisme daripada kerangka islam, Marxisme, atau ukuran-ukuran suku bangsa
yang sempit. Kemudian Soekarno membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia).
Melalui PNI Soekarno mendengungkan nasionalisme dan bertujuan memerdekakan
seluruh Kepulauan Indonesia. PNI adalah satu-satunya partai politik penting
pertama yang beranggotakan etnis Indonesia
Jika sudah memahami konsep nasionalisme Indonesia dalam bingkai
multikulturalisme, sejarah berdirinya Budi Oetomo (20 Mei 1908) atau kelahiran
R.A. Kartini (21 April 1879) tampaknya memang kurang relevan dijadikan sebagai
titik tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dua momentum bersejarah ini memang
memiliki andil yang cukup besar dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme
pribumi. Akan tetapi, dengan memahami konsep bangsa Indonesia yang
multikultural, kedua momentum tersebut kurang dapat mengatakan secara gamblang
soal kebangkitan secara nasional. Di awal subbab ini juga sudah dikatakan bahwa
multikulturalisme pada masa ini sedang ditaburkan benihnya. Yang penting untuk
dicatat bahwa sudah mulai ada gerakan dari para pemuda terpelajar untuk
mendirikan suatu organisasi dan mulai berpikir mengenai doktrin anti-penjajahan
yang dapat dianut. Di antara kelompok itu akhirnya saling mengingatkan secara
jelas akan kepentingan-kepentingan yang memisahkan mereka. Kelompok yang masih
berbau identitas kesukuan itu sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni
semangat untuk melawan penjajah.
Menurut sejarawan Ben Anderson (1988), konsep nasionalisme
Indonesia mulai diperkenalkan secara jelas pada tahun-tahun terakhir zaman
penjajahan Belanda. Ini adalah perkembangan selanjutnya dari gerakan
kebangkitan nasional yang sudah dirintis oleh Budi Utomo. Dari sekelompok
pemuda terdidik seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang pada tahun 1926,
didirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Tetapi, gagasan nasionalisme
Indonesia pada waktu itu belum bisa dijadikan sebagai representasi kekuatan
politik bangsa karena pembentukan PNI sebagai partai nasionalis belum mampu
mengakomodasi seluruh kepentingan bangsa yang multikultural. Baru pada tanggal
26-28 Oktober 1928, nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan politik yang telah
mengikat seluruh elemen bangsa ini.
Sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif berpendapat bahwa momentum Sumpah
Pemuda merupakan titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Momentum Sumpah
Pemuda yang terdiri dari seluruh elemen bangsa telah mengikat diri dalam ikrar
bersama. Seluruh elemen bangsa menyatakan ikrar bersama: bertanah air satu
(tanah air Indonesia), berbangsa satu (bangsa Indonesia) dan berbahasa satu
(bahasa Indonesia). Dalam hal ini, momentum Sumpah Pemuda semakin memperjelas
atau menegaskan konsep nasionalisme-multikultural.
Problematikanya saat ini adalah pada
kenyataannya, meski sudah ada konsep dan perwujudan mengenai multikulturalisme
sejak lama, serta memiliki sebuah common platform, yakni Pancasila,
yang mengandung cita-cita untuk mempersatukan keberagaman Indonesia, persoalan
konflik antar suku, pertikaian antar agama, dan merosotnya penghargaan terhadap
budaya orang lain masih terjadi di Indonesia. Persoalannya ada pada rezim orde
baru yang merepresi segala bentuk ekspresi kesadaran atas keberagaman budaya
yang dimiliki setiap masyarakat. Kesadaran multikultur dipendam atas nama kesatuan
dan persatuan Negara Indonesia (stabilitas nasional). Orde Baru dalam pada ini
menerapkan ideologi monokulturalisme. Penyeragaman budaya oleh rezim Soeharto
ini sangat nampak sekali salah satunya dalam membuat sistem pemerintahan
terstruktural dan terlembaga dari tingkat paling bawah sampai pusat.
Seluruh Indonesia diterapkan sistem
pemerintahan yang sekarang ini saya sebut dengan istilah sistem RT/RW. Sistem
ini dipakai untuk melakukan kontrol terhadap warga dan pertama kali dipikirkan
oleh mantan Presiden Soeharto. Ia mengadopsi sistem Tonarigumi yang
dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang. Yang salah dari sistem ini
adalah para pejabat di tingkat atas sampai bawah semuanya berada di bawah garis
komando Soeharto dan rakyat tidak memiliki otonomi untuk ikut mengatur sistem
tersebut. Padahal, di suku-suku pedalaman yang masih sangat tradisional, sistem
terlembaga demikian itu tidak mampu dipahami dengan baik oleh mereka yang masih
menganut kebudayaan tradisional. Di daerah pedalaman Papua yang masih akrab
dengan kehidupan di alam tentu akan kesulitan dan tidak memahami jika harus
mengikuti prosedur pemerintahan tersebut, misalnya, mengurus akta kelahiran,
perkawinan, dan pembuatan KTP. Lagipula, mereka yang di pedalaman masih
meyakini otoritas kepala suku yang mereka pilih dengan cara atau adat istiadat
mereka sendiri, dan bukan dipilihkan dari pemerintahan tingkat atasnya.
Di samping itu, problem masa kini
bagi multikulturalisme Indonesia dewasa ini adalah globalisasi. Disorientasi
dan krisis sosial budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia juga
semakin bertambah akibat meningkatnya proses ekspansi dan penetrasi budaya
barat, khususnya Amerika sebagai akibat dari globalisasi yang tak terbendung.
Banyak ekspresi sosial budaya yang bisa diamati pada anak-anak muda (juga orang
tua) mencerminkan tidak adanya fondasi dan preseden kulturalnya. Masyarakat
semakin banyak menganut gaya hidup yang tidak selalu positif dan kondusif bagi
konstelasi sosial budaya negara Indonesia. Kita melihatnya secara nyata lewat
kecenderungan masyarakat kita yang mulai doyan dengan budaya
serba instant, makanan cepat saji (McDonald, KFC, TEXAS Chicken, Dunkin Donuts,
dll); permisifisme; kekerasan; hedonisme; konsumerisme; prom’s night di
kalangan remaja; dan budaya MTV. Globalasasi di sini menjadi semacam
imperialisme baru terhadap kebudayaan Indonesia yang statusnya sejajar dengan
paham “orientalisme” yang berlaku pada masa kolonial.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat tidak mampu
membendung arus informasi yang datang dari negara-negara lain. Arus informasi
begitu cepat sekali dan sangat efektif memberi pengaruh bagi masyarakat
Indonesia. Memang tidak boleh dipungkiri bahwa globasisai (yang ditandai dengan
percepatan teknologi informasi) membawa efek positif pula bagi dunia. Namun,
sisi negatif yang diakibatkan juga tidak lebih kecil.
Globalisasi telah melahirkan kapital
internasional dari korporasi-korporasi besar yang ternyata hanya menguntungkan
negara-negara besar yang memiliki modal, dan sedikit konglomerat dunia. Di
pihak lain, kemiskinan di seluruh dunia bukan berkurang, melainkan semakin
drastis meningkat. Perubahan radikal yang terjadi menimbulkan shock bagi
masyarakat, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga sosial dan kebudayaan.
Masyarakat lokal yang mulai terjerat dengan kemiskinan mulai tergiur dengan
tawaran-tawaran untuk memperoleh taraf kehidupan yang layak dengan macam-macam
cara, mulai dari pergi ke kota untuk menjadi buruh di sebuah pabrik
multinasional tertentu atau dengan menjual tanah ulayat yang masih perawan
semata-mata untuk kepentingan uang.
Pancasila Jalan Keluar yang Masih Problematis
Di masa sekarang, era reformasi, ada
gejala untuk acuh tak acuh terhadap Pancasila yang terjadi secara pelan tetapi
masif. Gejala untuk meninggalkan pancasila ini tidak tampak memang secara jelas
di permukaan. Yang dapat dicermati adalah UU no. 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik Pasal 2 ayat 2b yang disahkan pada zaman Presiden B.J. Habibie. Dalam
pasal itu tertulis, “asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak
bertentangan dengan Pancasila”. Ayat ini menjadi problematis karena di situ
tidak ditegaskan bahwa asas partai harus Pancasila, namun hanya diberi
keterangan asal tidak bertentangan dengan pancasila. Hal ini memiliki potensi bahwa
asas suatu partai boleh di luar pancasila yang sudah menjadi common
platform bagi kesatuan seluruh Indonesia. Ditakutkan bahwa kurang
adanya sikap tegas dari pemerintah untuk menuntut pancasila dijadikan asas
setiap partai politik akan membawa Indonesia kembali pada pengalaman di masa
awal kebangkitan nasional yang belum terbentuk nasionalismenya, dengan kata
lain masih terpecah belah. Bangsa Indonesia belum merupakan suatu kesatuan
semua keragaman yang ada, tetapi masih berada dalam kotak-kotak yang terbagi
atas identitas-identitas suku atau kelompok agama tertentu (Syariat Islam).
Ketakutan lain adalah multikulturalisme yang merupakan cita-cita bersama
menjadi utopia semata.
Sekarang ini banyak orang menjadi pesimis memandang pancasila
sebagai nilai yang memendam cita-cita kesatuan seluruh Indonesia. Masyarakat
mengalami trauma atas rezim Orde Baru (Orba) yang memperlakukan Pancasila
sebagai sarana legitimasi ideologis dalam membenarkan segala keputusan dan
sepak terjangnya. Pengalaman pada masa Orba mematrikan suatu pemikirian bagi
masyarakat bahwa melawan pemerintahan Orba adalah “anti pancasila”. Pancasila
ikut terkena imbasnya setelah Orba ambruk. Pancasila akhirnya ikut dianggap
sebagai penyebab kehancuran negara. Orang tidak mau membicarakan Pancasila
karena tidak ingin kembali ke masa lalu.
Sekarang adalah saatnya untuk kembali kepada Pancasila tanpa
menjadikan Pancasila sebagai sarana indoktrinasi untuk melegitimasi segala
macam upaya dan keputusan yang dibuat selama dua rezim sebelumnya, otoritarianisme
Orde Lama dan Orde Baru. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat
kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi
Pancasila (Kompas, 20 Februari 2001). Azyumardi Azra menggunakan
istilah rejuvenasi Pancasila
(Kompas, 17 Juni 2004). Koento Wibisono mengatakan
perlunya reposisi dan reorientasi Pancasila (Makalah Pelatihan
Nasional Dosen Pancasila, 2004). Simposium Hari Lahir Pancasila di Kampus FISIP
UI Depok tanggal 31 Mei 2006 menggunakan istilah restorasi Pancasila.
Ada pula yang menggunakan istilah “dekontruksi” Pancasila (Santoso,
2003). Diskursus yang membahas kembali persoalan pancasila menjadi bukti bahwa
memang seharusnya Pancasila tidak pantas untuk ikut dipersalahkan. Di era
Reformasi ini Pancasila mendapatkan pemaknaan ulang dan bagaimana harus
diterapkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam diskurus soal Pancasila banyak
interpretasi atau pemaknaan baru yang keluar, namun pada gilirannya untuk
diaplikasikan ke dalam pelaksanaan kehidupan bernegara, tidaka ada
perwujudannya. Penyelesaian masih berhenti dalam taraf merusmuskan pemaknaan
baru, belum sampai pada praktis pelaksanaan yang justru sangat krusial untuk
pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia. Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar
(2007) mengakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti
Pancasila. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran
Pancasila itu.
Pertama, oleh karena
selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu,
yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan
abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Ini dapat kita telusuri pada
pengalaman Orde Baru dalam memaknai Pancasila. Telah terjadi proses
ideologisasi terhadap Pancasila selama masa Orde Baru. Pancasila yang pada
mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau platform demokratis bagi semua
golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar komprehensif
integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain (Nasution, 1993). Dalam
masa Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila (Somantri, 2006), atau Pancasila
dipahami sebagai sebuah mitos (Santoso, 2003).
Kedua, oleh karena
terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core
value dari lima sila Pancasila itu. Dengan dijadikannya Pancasila
sebagai wacana publik maka pemaknaan Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka
lengkap dengan argumentasi akademiknya masing-masing. Pancasila bagi para ahli
filsafat misal Notonagoro, Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai
konsepsi filsafatnya bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa
Orde Baru. Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta
keterikatannya dengan bangunan kenegaraaan Indonesia
Ketiga, justru oleh karena
memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara
melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah
yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. benar adanya bahwa
banyak sekali wacana publik terutama akademik yang berbicara tentang Pancasila
akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan mereka tidak banyak memberi
perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan Pancasila itu. Pembicaraan hanya
berkutat pada masalah isi makna Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau
perlunya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Sosialiasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila merupakan ideologi yang
menjadi dasar hidup kenegaraan. Namun sebelumnya perlu diperhatikan bahwa di
sini hendaknya diperhatikan untuk tidak mencampuradukkan Pancasila sebagai
dasar Negara dan sebagai ideologi atau pandangan dunia (Weltanschauung).
Maka dari itu, sifat asasi itu harus dicari dalam kehidupaan negara pula. Hidup
kenegaraan adalah salah satu aspek dari seluruh hidup kita yang sangat rumit
dan simultan. Aspek kenegaraan tidak boleh dipisahkan dari aspek lain (moral,
agama, kebudayaan, dan sebagainya). Pancasila harus dicantumkan sebagai dasar
negara (bukan dasar hidup pada umumnya). Pancasila harus pertama-tama dipandang
dalam hubungannya dengan negara.
Idea-idea yang berasal dari
Pancasila adalah idea-idea asasi hidup kenegaraan. Menegara berarti mengadakan
tata-tertib umum, menciptakan kemakmuran bersama. Negara adalah sebuah
aktivitas yang ditentukan oleh subjek yang melakukan; subjek yang menentukan
ditentukan oleh demokrasi. Maka, demokrasi menentukan aktivitas besar yang
disebut negara. Demokrasi adalah menjadikan masyarakat (yang terdiri dari orang
banyak) menjadi satu subjek dengan cara sesuai dengan martabat manusia: artinya
cara untuk membuat manusia-manusia sebagai subjek banyak menjadi subjek satu.
Dalam cara ini keluhuran dan kedaulatan manusia diakui. Demokrasi adalah suatu
hal yang fundamental sebab menentukan sifat dan bentuk negara.
Keadilan sosial adalah tujuan karya
raksasa bersama dalam menegara. Demokrasi adalah caranya membentuk subjek yang
melakukan karya itu. Subjek yang melakukan adalah bangsa Indonesia yang tidak
homogen, dari Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia adalah masyarakat
Tunggal-Bhineka. Ketunggalan itu belum sempurna; dan juga tidak ada maksud
untuk membuat kesatuan yang sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi
kebhinekaan. Meskipun demikian, adanya kesatuan tidak bisa dipungkiri, meski
prosesnya belum selesai hingga kini.
Lantas bagaimana menyampaikan idea-idea Pancasila itu kepada
masyarakat agar idea-idea kebangsaan terpahami oleh masyarakat untuk membangun
bangsa Indonesia yang multikultural?
Sosialisasi lewat pendidikan
Pancasila adalah jalur penyelesaian yang patut untuk dibuat. Perlu disusun
reaktualisasi akan bentuk pendidikan Pancasila dengan beberapa pembatasan.
Reaktualisasi pendidikan Pancasila ini akan berhasil dengan melalui tiga jalur
pendekatan pengembangan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic
development), pengembangan sosial budaya (socio-cultural
development) dan pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio-
political intervention).
Pertama, Pengembangan
Pendidikan Pembelajaran (Psyco-Paedagogic
Development) Psyco paedagogic
development adalah pendekatan yang berasumsikan
bahwa pengembangan nilai akan berhasil apabila nilai tersebut
diinternalisasikan, ditanamkan atau dididikkan pada diri peserta didik.
Sosialisasi nilai tersebut berlangsung dalam proses yang disengaja,
direncanakan, dan sistematis. Pendekatan ini umumnya dilakukan pada lingkup dan
jalur pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan perguruan tinggi. Namun
demikian keberhasilan sosialisasi melalui 10 pendekatan ini masih tergantung
pada faktor-faktor lain seperti materi, metode pembelajarannya dan kualitas
pemberi dan penerima sosialisasi.
Kedua, Pengembangan
Sosial Budaya (Socio-Cultural Development)
Socio-Cultural Development adalah pendekatan
yang berpandangan bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh
lingkungan sosial budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu
diciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila di masyarakat. Penciptaan lingkungan sosial budaya tersebut mencakup
penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun wadah sosial budaya di
masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat berpengaruh bagi
keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sosialisasi
Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan (psyco paedagogic
development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural
development.
Ketiga, Pengaruh Sosial
Politik dari Kekuasaan (Socio- Political Intervention)
Socio-Political Intervention berasumsi bahwa sosialisasi
nilai-nilai Pancasila dalam batas- batas tertentu membutuhkan peran negara
untuk mempengaruhi upaya tersebut. Dalam batas tertentu mengandung maksud bahwa
di era demokrasi sekarang ini peran negara diupayakan minimal sedang peran
masyarakat yang diperbesar. Dalam negara demokrasi, perlu dihindari
keterlibatan negara secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Jadi peran negara demokrasi adalah memfasilitasi, menyediakan sarana,
kebijakan, program dan anggaran bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila untuk
selanjutnya menawarkan kerjasama dengan masyarakat untuk menjalankan
sosialisasi tersebut.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Keragaman
Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme, 2007,
Makalah Seminar, disampaikan pada Semiloka Nasional
Driyarkara, Karya Lengkap
Driyarkara, 2006, Jakarta: Gramedia
Gutmann, Amy (Ed.), Multiculturalism.
Examining The Politics of Recognition, 1994,
New Jersey: Princeton University Press
Parekh, Bhiku, Rethinking
Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory,
2000, New York: Palgrave
Ricklefs, M.C., Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008, 2008, Jakarta: SERAMBI
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme.
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, 2004, Jakarta:
Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar